Tuesday, October 11, 2016

Cinta Di Ujung Waktu

Senyum mengembang dibibir Yuni, ketika ia sudah tenggelam bersama sahabat diamnya. Menuliskan semua yang ingin ia ceritakan pada sebuah buku diary. Terbayang akan sosok yang ia cintai, mulailah jemari menari-nari di atas kertas putih...




28 April 2010
Aku bahagia bersamanya. Tuhan, bahagiakanlah dia slalu.
Aku mencintainya.


Kembali Yuni tersenyum-senyum sambil menutup bukunya dan kemudian merebahkan badan. Membayangkan betapa hidupnya bahagia sendainya  . . .yah . . .hanya seandainya saja. Tiba-tiba sebuah bunyi sms membangunkannya dari lamunan panjang.

“Ngapain Capri hujan-hujan gini ke rumahku?” Sambil berlalu menuju ke pintu depan rumahnya. “Masuk Kak...ada apa? Kok hujan-hujan gini keluyuran?” Yuni berjalan menuju dapur membuatkan segelas teh hangat untuknya.

“Ah, bosan aja di rumah gak ada temen ngobrol. Tau sendiri kan orangtuaku lagi gak di rumah. La ibumu kemana?” Capri mengulurkan tangan meraih gelas.

Perbincanganpun semakin hangat tatkala ibu Yuni turut bercengkerama bersama mereka. Keakraban mereka berawal ketika Ayah capri yang bekerja sebagai Kepala Sekolah sebuah SMA memutuskan untuk pindah rumah setelah beliau pun dipindah tugaskan ke sekolah di mana Yuni bersekolah. Kini Yuni dan Capri sekolah di tempat yang sama bahkan rumah mereka pun berdampingan.

---------@@@@---------

“Yun, boleh gak aku main ke rumahmu? Boleh yah yah yah? Pinta Desi teman sebangku Yuni di kelas dengan penuh harap.

“Tumben, biasanya kan kamu lebih suka di rumah, gak doyan keluyuran.....kaya ulat yang lagi bertapa berharap jadi belalang, eh kupu-kupu hahahahah.” Yuni tertawa menggoda sahabatnya itu.

“Ah, km Nyun. Bisa ajah...aku emang lagi semedi semoga dapet wangsit gimana caranya biar deket ma kak Capri yag ganteng itu hiihihihihi.”

“Capri? Maksut loe?.” Yuni mengernyutkan dahi setelah mendengar nama Capri keluar dari mulut Desi.

“Iyah kak Capri. Capri Pranata Wijaya kakak kelas kita. Yang dulu pindahan sekolah itu loh.” Jelas Desi.

“oh, jadi itu alasan kamu mau main ke rumahku. Bukannya mau belajar tapi mau pedekate ke dia?”

“Hehe...”Desi hanya tertawa kecil sambil memegang kedua pipinya.

Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah Yuni tak lekas menuju ke rumah. Ia malah menuju ke taman dekat rumahnya. Yuni memilih duduk di rerumputan bawah pohon kemudian ia mengeluarkan sebuah buku bersampul biru dari dalam tasnya.

4 Mei 2010

Aku tak tahu mengapa ada sedikit kecemasan dalam hatiku. Seperti ada sesuatu yang menyumbat perasaan ini. Kan ku katakan pada awan yang mengitari kepalaku di langit sana, janganlah mendung menghampirinya, aku masih ingin menikmati terik matahari dibawah teduhnya.

“Yun . . .” suara dari kejauhan terdengar memanggilnya.

“Capri ?” secepat kilat Yuni menutup bukunya dan langsung memasukkan kembali ke dalam tasnya.

“Kok sendirian di sini? Tadi aku liat kamu lagi nulis sesuatu coba liat donk !” Capri mencoba meraih tas Yuni namun tak sampai menyentunya Yuni langsung mendekap tas tersebut.

“Oh, bukan apa-apa kok. Hm...lagi pingin ajah di sini.” Yuni merebahkan badannya di atas hamparan rumput hijau disusul Capri mengikutinya merebahkan badan disamping Yuni.
“Dulu,  sebelum ayahku tiada, kami sering ke sini hanya untuk melihat bintang-bintang. Kata Ayah lihatlah bintang  di langit sana,  bintang akan selalu bersinar. Bintang meski tak selalu tampak...tapi bintang akan selalu ada seperti cinta ayah pada Yuni dan ibu.

“yah....beliau benar bintang memang tak akan selalu tampak tapi sesungguhnya ia akan selalu ada, seperti ayahmu meski beliau tak dapat lagi kau lihat tapi beliau akan selalu ada dalam hatimu.”

Mereka banyak bercerita tentang perjalanan hidup. Bertukar pengalaman-pengalaman sebelum akhirnya mereka dipertemukan.

“oya, aku harus pulang khawatir ibu cemas menungguku.”
“ya udah pulang bareng yuk.” Ajak Capri menarik tangan Yuni.

Sesampainya di depan rumah Capri tak lekas masuk ke dalam rumahnya sendiri, tapi malah mengikuti Yuni dibelakangnya.

“Bu, Yuni pulang...”sambil menyelinap masuk karna pintu depan terbuka.

“kok baru pulang? Dari tadi Desi nungguin kamu loh....tuh dia lagi bantuin ibu masak di dapur.” Dengan gemas bu Santika mencubit pipi putri semata wayangnya itu.

“Maaf bu, tadi Yuni main sebentar di taman depan sana.” Yuni kemudian mencium pipi ibunya.
“Tante...” sapa Capri mengejutkan bu Santika yang sedari tadi tak menyadari kehadiran Capri.

“Loh, ada Capri juga. Kebetulan tante lagi masak, kita makan siang bareng-bareng yah.”

“Yuni....tega banget kamu dari tadi aku nungguin kamu tau. Ke mana aja sih? Tiba-tiba Desi muncul. “eh, ada kak Capri juga...” Desi tersipu malu ketika Capri menoleh ke arahnya.

Sejak saat itu Desi sering datang ke rumah Yuni, bahkan Desi juga sering terlihat jalan bareng dengan Capri. Bahkan saat hari di mana kelulusan Capri yang mana sekolah mengadakan syukuran dalam  bentuk pesta Capri berpasangan dengan Desi.

---------@@@@---------

“Hai Yun? Kok sendirian aja? Ada yang lagi ditungguin?” Rio tiba-tiba menepuk bahu Yuni.

“oh, kak Rio. Ga ada kok.” Singkat Yuni tanpa menyadari sedari tadi Rio memperhatikannya.

Dengan perasaan kecewa, Yuni pulang lebih awal dari semua yang hadir di pesta malam itu.

“Ayah, aku merindukanmu.” Bisik Yuni pada dirinya sendiri. Sebelum masuk rumah Yuni menyeka airmatanya dan memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Tak boleh terlihat bekas airmata mengalir dari kedua matanya. Ia tak ingin hal ini diketahui oleh siapapun dan tak ingin membuat ibunya khawatir.

“bu, Yuni pulang.”

“loh, baru jam setengah sembilan kok udah pulang? Katanya sampai jam sepuluh.”

“iya bu, Yuni agak gak enak badan, jadi pulang duluan.”

“pulang sama siapa? Arka?”

“sendiri. Maaf yah bu, Yuni langsung masuk kamar saja.”

“ya sudah, istirahat yah sayang. Mungkin kamu kelelahan.” Bu Santika seakan menyadari kondisi yang sedang dialami putrinya tak ingin banyak tanya tentang dia dan teman-temannya. Karna dia sendiri tahu seperti apa anaknya itu. Yuni lebih suka menyimpan semuanya sendiri, meski ibunya lebih menginginkan Yuni mau terbuka dengannya. Watak Yuni sama persis seperti ayahnya. Tertutup namun orangnya selalu ingin membuat orang lain bahagia.

“Sayang? Udah tidur?” ibunya menghampiri Yuni yang tengah berbaring membelakangi ibunya. Ia menyembunyikan tangisnya agar tak tampak. “Sayang, yang sabar yah. Dalam hidup ini memang ada senang juga ada sedih, ada cinta juga ada kecewa, ada hidup dan mati. Semua memang sudah digariskan oleh Tuhan untuk tetap kita syukuri apapun yang kita alami. Dan ibu selalu berdo’a semoga Yuni kuat menjalani itu semua. Met istirahat yah sayang.” Sambil membelai rambut panjang putrinya bu Santika mencoba menenangkan hati Yuni. Sebelum meninggalkan kamarnya tak lupa beliau mencium kening putri kesayangannya itu.

Tiba-tiba Yuni bangkit dan memeluk ibunya. “aku menyayangimu bu.”

“ibu juga menyayangimu sayang.” Sembari senyum beliau memeluk Yuni. “dah malam, kamu istirahat yah, ibu jga mau istirahat.”

“ok. Ibuku sayang. Makasih yah bu.” Yuni mencium pipinya.

Setelah menutup pintu, Yuni langsung menuju meja belajarnya dan kembali menuliskan sesuatu.

21 Mei  2010

Andai tak berandai-andai. Seandainya akulah yang berada di sampingnya. Bergandengan tangan dalam pesta dansa malam itu. Tuhan, apapun yang terjadi...aku tetap mencintainya. Aku ingin dia bahagia meskipun bukan aku yang kan menjadi sumber kebahagiaannya.

---------@@@@---------

“Yun, aku mau kuliah ke Singapura.” Capri mengawali pembicaraan di sebuah senja satu hari setelah kejadian malam itu.

“Singapura? Kenapa harus di sana? Universitas di sini juga tak kalah bagus kok.” Timpal Yuni setengah terkejut.
“Ayahku menginginkannya. Besok pagi aku akan berangkat. Menurut kamu gimana Yun ?”

“Bagus. Ya sudah . . .kamu nurut aja. Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tak terkecuali orangtuamu.” Dengan menunduk Yuni mencoba untuk tetap tenang.

“Tapi Yun. . .” Belum sempat melanjutkan kata-katanya yuni bangkit dari tempat duduk dan berlalu menuju kamarnya.

“maaf Kak . . .Yuni ke kamar dulu yah, kepala Yuni agak pusing.”

“oh, ya udah, kamu istirahat dulu. Aku mau ke rumah Desi.” Capri pergi meninggalkan rumah Ara.

Yuni langsung menuju ke kamarnya dan mengunci pintu. Ara menyembunyikan tangisnya dari diketahui orang lain terutama Capri. Yuni meninggalkan Capri yang tengah mengajaknya bicara dan mengatakan kepalanya sakit itu hanyalah sebuah alasan belaka. Sejujurnya karna ia tak sanggup lagi membendung airmatanya.

22 Mei 2010

Tuhan, haruskan ia pergi? Tak kah kau ijinkan aku tuk terus bersamanya?
Tuhan, aku ingin selalu. . .
Melihat senyumnya, mendengar suaranya. Jagakanlah dia untukku wahai Tuhanku.

---------@@@@---------

Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB namun Yuni masih terpaku di dalam kamarnya. Hanya memandang hampa pada sebuah fotonya bersama Capri dan ibunya. Padahal pesawat yang akan ditumpangi Capri akan berangkat sekitar 1 jam lagi.

“Yun, kamu gak ikut ke bandara? Tadi pagi Capri pamitan ke ibu dan menitipkan sesuatu untukmu. Dia bilang gak bisa kasih langsung ke kamu, khawatir menggangu istirahatmu.” Bu Santika menyodorkan sebuah amplop putih bertuliskan Dear :  Yuni . Bu Santika lantas meninggalkan Yuni sendirian di kamar. Dengan perlahan Yuni membukanya ,

Untukmu Yuni yang amat kusayangi,

Yun, mungkin kamu terkejut dengan sebutan diatas. Perlu kamu ketahui sebenarnya aku menyukaimu, aku menyayangimu, bahkan aku teramat mencintaimu. Sejak aku mengenalmu hampir 3 tahun yang lalu. Aku langsung jatuh hati padamu. Maafkan aku yang selama ini hanya mampu mencintaimu secara diam-diam. Aku takut kau menolakku, lantas kau akan menjauhiku. Sebenarnya kemarin aku akan mengatakan ini padamu tapi katamu kau sedang tak enak badan lantas kau meninggalkanku sendiri . Aku harap kau tak marah apalagi membenciku karna suatu hal dari tindakanku. Jaga diri baik-baik yah.

Dari Capri yang mencintaimu

Tak terasa air hangat membasahi pipinya. Tangisnya tak tertahankan lagi ketika Desi menelponnya dan menceritakan semuanya. Kedekatan Desi dengan Capri selama ini ternyata tak seperti yang Yuni duga. Meskipun Desi mencintai Capri tapi ternyata Capri hanya mencintai Yuni. Capri sering bersama Desi hanya sekedar untuk mencari tahu semua tentang Yuni.

“Yun, kamu juga mencintai Capri kan? Katakanlah padanya bahwa kamu mencintainya. Sebelum semua terlambat.” Suara di ujung telepon menggugah hatinya untuk melakukan sesuatu.

Tanpa pikir panjang Yuni langsung bergegas menuju bandara. Namun sesampainya di bandara Yuni melihat banyak kerumunan orang dan juga dari kepolisian beserta ambulan dan mobil pemadam kebakaran. Dari informasi petugas setempat memberitahukan bahwa pesawat yang ditumpangi Capri meledak sesaat setelah pesawat lepas landas. Belum dapat dipastikan mengenai jatuhnya korban.

“Ya Tuhan... lindungilah Capri.”

---------@@@@---------

23 Mei 2010

Tepat berada di atas pusaranmu,
aku berdo’a untukmu, duhai kasihku
Aku yang kau tinggalkan sendiri
Tanpa isyarat tanpa sebuah kepastian

Aku sendiri terpaku dalam sunyi
Tanpa hadirmu kini
Tanpa kudengar lagi suaramu
Tanpa kulihat lagi senyummu

Semoga kau tenang di sana
Meski waktu tlah memisahkan kita
Raga tak lagi jumpa
Namun kau kan slalu ada
Dalam relung sebuah rasa

“Ayo nak kita pulang, hari sudah sore semua orang tlah meninggalkan tempat ini.” Suara bu Santika yang tegar mengajak Capri tuk kembali ke rumah.
Capri lantas menutup buku diary milik Yuni yang kini berada dalam genggamannya.

“maafkan Capri tante...seandainya saja Capri tak pernah pergi ke manapun. Seandainya Capri tetap di rumah semua ini tak akan pernah terjadi.” Capri menangis dalam pelukan bu Santika yang justru jauh lebih tabah harus kehilangan anak semata wayangnya.

“sudahlah Capri, semua ini memang sudah kehendak Tuhan. Kita hanya manusia biasa hanya bisa menjalani dengan ikhlas.” Bu Santika mencoba tetap kuat di depan Capri.

“iya kak, ini sudah takdir. Kita yang masih diberi kesempata di dunia ini hendaknya mendo’akan Yuni agar  tenang di alam sana.” Tambah Desi yang juga sesungguhnya terpukul dengan kejadian hari itu. Seandainya ia tak menelpon Yuni pagi itu. Seandainya ia tak menyuruh Yuni untuk menyusul ke bandara mungkin semua akan jauh berbeda. Yuni yang tengah menangisi Capri yang dipikirnya menjadi korban meledaknya pesawat itu, melihat sosok Capri yang tengah berdiri di ujung jalan luar bandara lantas berteriak memanggil Capri dan langsung berlari untuk menghampirinya. Namun sesuatu di luar dugaan terjadi. Yuni tak melihat ada sebuah mobil yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi hingga menabrak tubuhnya. Yuni terhempas dengan darah bercucuran di kepalanya. Capri yang menyaksikan kejadian tersebut langsung membawa Capri ke Rumah Sakit, namun takdir tak dapat dibantah, Yuni menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.

Capri masih teringat dengan jelas kta-kata yang Yuni ucapkan sebelum akhirnya ia meninggal bahwa Yuni mencintai Capri seperti Capri mencintai dirinya.

---------THE END----------

0 comments:

Post a Comment